Khalifah (Pemimpin) Penjaga Lingkungan Hidup





Manusia ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menempati planet bumi bersama dengan makhluk-makhluk hidup lainnya. Bumi yang ditempati manusia ini telah disiapkan oleh Allah SWT dan mempunyai kemampuan untuk bisa menyangga kehidupan manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya. Akan tetapi sesuai pula dengan sunnatullah (hukum Allah), bumi juga mempunyai keterbatasan, sehingga bisa mengalami kerusakan bahkan kehancuran.
Permasalahan kerusakan alam lingkungan yang terjadi belakangan ini, baik dalam lingkup nasional maupun global, jika dicermati sebenarnya berakar dari cara pandang dan perilaku manusia itu sendiri terhadap alam dan lingkungannya. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi diakibatkan oleh ulah tangan manusia. Perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup tersebut telah mengakibatkan terjadinya berbagai macam kerusakan lingkungan. 

Islam merupakan agama yang mengatur semua aspek kehidupan manusia di muka bumi, termasuk juga mengenai bagaimana manusia dalam menjaga lingkungannya. Islam memberikan pandangan tersendiri terhadap lingkungan hidup, karena manusia diciptakan sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi, yang harus menjaga dan melestarikan bumi sebagai lingkungan hidupnya. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan bangsa jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat al-Anbiya ayat 107 yaitu: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Islam melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Demikian tinggi, indah dan terperinci aturan Allah SWT, sehingga bukan hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya.

Dalam pandangan Islam, manusia  mempunyai peranan penting dalam menjaga kelestarian alam dan (lingkungan hidup). Islam merupakan agama yang memiliki pandangan bahwa lingkungan hidup sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhannya, manifestasi dari keimanan seseorang dapat dilihat dari perilaku manusia, sebagai khalifah terhadap lingkungannya. Islam mempunyai konsep yang sangat detail terkait pemeliharaan dan kelestarian alam (lingkungan hidup). Dalam Islam, manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk dan hamba Tuhan, sekaligus sebagai wakil  Tuhan (khalifah) di muka bumi. Manusia mempunyai tugas untuk mengabdi, menghamba (beribadah) kepada Sang Pencipta (Al-Khalik). Tauhid merupakan sumber nilai sekaligus etika yang pertama dan utama dalam teologi pengelolaan lingkungan.

Allah SWT berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(QS. Albaqarah 2:30)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al An’aam 6:165). Jadi sebagai wakil Allah (khalifah) di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah SWT, termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.
Manusia mempunyai hak (diperbolehkan) untuk memanfaatkan apa yang ada di muka bumi (sumber daya alam) dengan tidak melampaui batas atau berlebihan. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia memiliki kewajiban melestarikan alam semesta dan lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya. Agar hidup di dunia menjadi makmur sejahtera penuh keberkahan dan menjadi bekal di hari akhir kelak. 
Hal ini secara langsung diungkapkan oleh Allah dalam salah satu firmanNya dalam Al-Qur’an surat Al a’raf ayat 56 yang berbunyi; “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Selain itu Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an surat Ar ruum ayat 41 yang artinya; “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa kerusakan alam lingkungan pada akhirnya akan memberikan dampak buruk kepada diri manusia sendiri. Sebagai contoh, perilaku manusia yang merusak hutan berakibat pada bencana banjir yang merenggut nyawa dan melenyapkan harta benda manusia.

Pemanasan global yang kini mengepung manusia juga akibat dari ulah manusia. Ketika bencana alam datang, manusia seharusnya menyadari akan kesalahannya dalam  kegiatan mengeksploitasi alam secara semena-mena.Kesadaran manusia dalam perannya sebagai khalifah yang telah ditunjuk oleh Allah di muka bumi seyogyanya mulai bertindak arif dan bijaksana dalam mengelola kekayaan alam dan bumi sehingga terhindar dari kerusakan. Dan kelestarian bumi dan lingkungan hidup tetap terjaga.

Hutan dan lahan itu sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, di mana di dalamnya banyak sekali hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi bahan makanan bagi kita. Hutan dan lahan dapat menjadi pelindung bagi kita dari panasnya sengatan matahari dan bahaya banjir, jika dirusak dengan cara membakarnya, maka akan dapat merugikan diri kita sendiri, juga berefek bagi lingkungan yang lebih luas.
Sementara hutan dan lahan yang di bawahnya bergambut, jika dibakar akan mendatang asap yang tebal, menganggu pemandangan, dan berdampak juga pada jalur-jalur penerbangan yang terganggu dan mengakibatkan sesak napas.

Fiqih Islam, yang merupakan kajian terhadap hukum-hukum syariah, telah memberikan perhatian khusus tentang pemeliharaan lingkungan. Secara umum fiqih membicarakan hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan manusia lain, dan dengan alam sekitarnya, sesuai dengan lima hukum pokoknya, yakni : wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam rangka ikut andil membenahi tindakan masyarakat yang melakukan pembakaran hutan dan lahan secara sengaja demi kesejahteraan masyarakat tersebut, telah mengeluarkan Fatwa Nomor 30 Tahun 2016 tentang “Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan serta Pengendaliannya”. Ketentuan hukum dalam Fatwa Nomor 30 Tahun 2016 tersebut diantaranya adalah :
  • Melakukan pembakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, kerugian orang lain, gangguan kesehatan, dan dampak buruk lainnya, hukumnya HARAM.
  • Memfasilitasi, membiarkan, dan/atau mengambil keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada point diatas , hukumnya HARAM.


Majelis Ulama Indonesia juga menyatakan bahwa berburu dan membunuh satwa dilinduingi hukumnya adalah HARAM, maka setiap umat islam wajib menjaga keseimbangan ekosistem, dimana salah satu aksinya adalah dengan menjamin keberlangsungan hidup satwa pada habitatnya, terutama satwa yang dilindungi. Semua kegiatan perburuan yang mengakibatkan kepunahan satwa liar tanpa dasar agama atau ketentuan hukum adalah HARAM." Hal itu ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 4 Tahun 2014 tentang “Perlindungan satwa langka demi kelangsungan ekosistem”.  Oleh karenanya hendaklah umat islam ikut mengimplementasikan kedua fatwa tersebut diatas, karena pada dasarnya islam melarang umatnya untuk berbuat kerusakan di muka bumi

Selain mengingatkan kepada manusia tentang pentingnya untuk menjaga alam dan lingkungan, agama Islam melalui dua sumber pokoknya, yakni Al-Quran dan Hadits Nabi memberikan penjelasan yang tegas mengenai musibah yang menimpa umat manusia. Menurut Malik Madani (1997, 162-165), jika diteliti ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang musibah, atau bencana, maka dapat dipahami adanya tiga bentuk musibah.

Pertama, musibah atau bencana yang merupakan hukuman atau siksaan dari Allah SWT, karena kemaksiatan (kezhaliman) yang dilakukan sekelompok manusia. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran:Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Ny”a. (QS. An Anfaal (8) : 25)
Ayat di atas menjelaskan bahwa musibah atau bencana yang diberikan oleh Allah tidak hanya kepada orang-orang yang berbuat aniaya atau berdosa saja, tetapi juga kepada orang-orang yang baik. Dengan kata lain, karena perbuatan zhalim dari orang-orang tertentu, semua orang merasakan akibat buruknya.

Kedua, musibah atau bencana yang merupakan hukuman dan laknat dari Allah kepada orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT. dalam Al-Quran dengan firman-Nya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (QS. Ibrahim (14) 7)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar Rum (30) : 41).

Ketiga, Musibah atau bencana yang diberikan Allah kepada manusia untuk menguji kualitas keimanan mereka, bukan untuk menghukum dan menunjukkan kemurkaan-Nya. Musibah semacam ini ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Quran, di antaranya adalah firman Allah SWT: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al Ankabut (29) : 2).
“Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut (29):  3.

Dengan memahami ketiga bentuk musibah atau bencara di atas, setiap Muslim diharapkan lebih berhati-hati dan arif dalam menilai dan menyikapi setiap musibah atau bencana yang terjadi. Sebab setiap penilaian yang tidak cermat dan tidak bijaksana akan menimbulkan akibat yang tidak diinginkan dalam kehidupan manusia.
Kita harus menyikapi apa pun yang terjadi di alam semesta ini (termasuk musibah bencana) dengan sikap husnuzhan (berbaik sangka) terhadap Allah dengan menerima apa saja yang menjadi takdir dan keputusan-Nya. Sikap husnuzhan kepada Allah SWT ini akan terbina dalam diri seseorang jika dia memiliki iman yang mantap, terutama iman kepada Allah SWT dan kepada takdir-NYA. Ketimpangan hidup bukan perbuatan Allah SWT, tetapi manusialah yang menciptakannya. Oleh karena itu hendaklah manusia itu bersabar.

Semoga kita termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang selalu peduli terhadap  pelestarian lingkungan sebagai bagian dari pelaksanaan tugas kekhalifahan dan penghambaan diri kepada Allah SWT.

Aamiin...





Depok, 30 Oktober 2019


Sumber :
Bulletin Jum’at Program Yapeka-TFCA Sumatera
Editor: Misbakhul Munik. SPD.i.


Nano Sudarno

www.nanosudarno.blogspot.com